Masih ingat kasus Rhoma Irama yang menambah gelar “Prof.” palsu di depan namanya?? Hal ini dilakukan untuk menarik simpati para pendukung dalam kampanye pencalonan presiden. Mungkin Anda juga sering mendengar ada orang yang membeli ijazah tanpa harus susah payah bersekolah? Saya tak perlu jauh-jauh mencari contoh, dulu tetangga saya ada yang melakukannya. Motifnya untuk memudahkan karir dan memuluskan jalan dalam mencapai tujuan tertentu.
Gelar akademik (di depan atau belakang nama) dipandang sebagai prestige; gengsi, kebanggaan, atau kehormatan. Setidaknya itu yang terjadi di Indonesia. Bukan hanya gelar akademik, namun penambahan gelar kebangsawanan dan keagamaan juga berpengaruh dalam status sosial seseorang. Contoh gelar kebangsawanan seperti Raden, Gusti, Sultan, Andi, dan sebagainya. Gelar keagamaan seperti Haji atau Hajjah dalam Islam (kalau agama lain saya tidak tahu).
Tidak banyak orang yang tahu sejarahnya bahwa sebenarnya gelar Haji dipakai karena aturan pemerintah Belanda pada masa penjajahan dulu. Orang yang baru kembali dari ibadah haji akan diberi gelar Haji pada namanya, mulai dari panggilan hingga ke dokumen. Hal ini dilakukan agar mudah untuk mendeteksi dan mengawasi gerak-gerik para haji, karena dicurigai dapat membuat sebuah perubahan yang membahayakan kekuasaan penjajah. Anehnya zaman sekarang orang bangga sekali jika memakai gelar Haji, padahal dalam Islam tidak ada aturan orang yang sudah melakukan ibadah haji diberi gelar Haji atau Hajjah.
Kebanggaan akan gelar kadang malah mengesankan sebuah kesombongan diri. Apalagi jika gelar yang mereka miliki bukanlah gelar yang istimewa. Saya pernah melihat undangan pernikahan yang calon pengantinnya mencantumkan gelar akademik Ahli Madya (D3 atau zaman dahulu disebut Sarjana Muda). Menurut saya bukannya terkesan keren tapi malah memalukan. Zaman sekarang ijazah S1 sudah biasa (banget), bukan hal langka, eh ini malah mencantumkan gelar Ahli Madya! 😀
Bolehlah Anda merasa sudah susah payah berjuang kuliah bertahun-tahun, tapi bukan berarti tiap kali Anda menuliskan nama harus menyertakan gelar akademik. Begitu pula dengan gelar Haji/Hajjah. Mungkin karena biaya pergi haji mahal, jadi kalau sudah pergi haji tapi tidak pakai gelar “Haji/Hajjah” rugi dong yaaa…?? 😀
Saya pribadi tidak masalah jika orang mau menambahkan gelar apapun pada namanya, asalkan gelar tersebut dipakai sesuai dengan konteksnya. Misalnya Anda seorang pengajar atau guru besar di suatu universitas, gelar akademik tentu sangat wajar digunakan. Gelar kebangsawanan lebih cocok digunakan saat ada acara-acara adat. Begitu pula dengan gelar keagamaan, lebih baik dipakai jika Anda memang seorang pemuka agama.
Salam down to earth!
Desi Sachiko
Featured pic taken from aliexpress.com
*
Suka artikel ini? Silakan bagikan:
Comment
Bagi penulis mungkin memalukan memiliki gelar Ahli Madya.. tapi bagi yang berjuang untuk mendapatkan gelar tersebut belum tentu begitu.