Kemarin saya diingatkan oleh aplikasi Timehop tentang sebuah foto yang saya unggah lima tahun yang lalu di Facebook. Foto itu diambil pada saat saya masih bekerja di sebuah kantor di Jakarta.
Ketika melihat foto itu, saya teringat kembali masa-masa menjadi karyawati. Tak bisa disangkal, ada rasa kangen ingin merasakan saat itu lagi…
Saya ingat bagaimana dulu berjuang di pagi hari dengan kendaraan umum agar bisa sampai di kantor tepat waktu. Saya ingat rasanya lembur. Saya ingat secangkir kopi pasti ada di meja kerja saya. Saya juga masih ingat meja-meja kerja saya, dimana saya banyak meletakkan barang-barang pribadi seperti foto-foto atau pernak-pernik lucu. Tujuannya supaya saya merasa nyaman berada di meja kerja dengan melihat foto orang-orang yang dekat di hati saya. Meskipun banyak barang pribadi tapi meja kerja saya selalu rapi, beda dengan meja laptop saya di rumah sekarang hahahaa… 😀
Rasa kangen atmosfir kantor membuat saya tergerak membuka sebuah album foto di Facebook yang berisi kumpulan foto-foto semasa saya bekerja dulu. Banyak foto-foto saya dengan para kolega di beberapa kantor tempat saya bekerja dulu. Tiba-tiba saya teringat sesuatu… Nostalgia saya terusik saat melihat foto-foto itu satu persatu secara detail. Saya teringat dengan berbagai macam pengalaman tidak menyenangkan selama saya bekerja dulu. Rasanya seperti… Seseorang yang tak dianggap! 🙁
Bertahun-tahun saya bekerja di beberapa perusahaan dulu cuma menghasilkan rasa capek saja alias cuma jadi babu tanpa pernah diberi kesempatan mengembangkan kemampuan (baca: mentok tembok kanan kiri, atas bawah, tidak bisa maju alias tidak pernah naik jabatan). Padahal saya yakin bisa mengembangkan diri jika diberi kesempatan, karena saya tahu kemampuan saya. Namun dunia memang (kadang) tak adil… 🙂 Dunia kerja itu penuh dengan permainan kotor juga.
Bukan sekali dua kali saya melihat orang yang tidak capable bisa mendapatkan posisi enak tanpa susah payah. Saya ingat pernah diputus kontrak tiba-tiba karena salah satu atasan di kantor mau memasukkan anaknya yang baru lulus kuliah, sementara di kantor sudah tidak ada lagi posisi lowong. Jadilah saya ditendang! Saya juga pernah dibohongi seorang HRD yang berjanji akan mengangkat saya menjadi karyawati tetap pada bulan depan, namun beberapa hari kemudian di-cancel karena CEO di perusahaan itu mau memasukkan anak temannya yang cantik dan baru lulus kuliah juga.
Selain itu, saya pernah difitnah oleh seorang rekan kerja wanita. Saya tidak tahu jelas apa alasannya. Dia menghasut rekan-rekan kerja lainnya hingga beberapa dari mereka menghapus saya dari Facebook. Padahal waktu itu posisi saya hanya karyawati bantuan (temporary) untuk beberapa bulan saja. Mungkin dia menganggap saya sebagai ancaman atau dia tidak suka saya yang cuma kerja sebagai “pembantu” masuk dalam pergaulan di kantor itu. Sudahlah… Tak guna juga mencari tahu, toh saya sudah tidak pernah bertemu mereka lagi 🙂
Pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan selama bekerja dulu membuat saya “kapok” kembali ke dunia kerja. Jika saya mengingat masa-masa itu, rasanya saya bahagia sekali bisa jadi ibu rumah tangga meskipun pekerjaan ibu rumah tangga kadang membuat saya bosan.
Ibu rumah tangga itu harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan. Padahal waktu saya single selalu skip sarapan supaya bisa bangun agak siang hahahaha… Pekerjaan ibu rumah tangga sehari-hari mengurus cucian piring, cucian pakaian, menyetrika, belanja dapur, dan memasak (kebetulan saya tidak suka masak, jadi pekerjaan satu ini lumayan berat bagi saya), setelah itu balik lagi mencuci perlengkapan masak dan bekas makan malam. Untuk semua pekerjaan itu butuh waktu lebih dari delapan jam, lebih lama dari waktu bekerja di kantor. Apalagi jika ada anak-anak pasti lebih repot!
Kebanyakan orang (maksud saya laki-laki) mengira jadi ibu rumah tangga itu enak, santai-santai saja. Padahal sama saja seperti orang yang bekerja di kantor, malah kadang lebih capek. Rasanya semua laki-laki itu sama, mereka tidak mengerti dunia ibu rumah tangga. Salah satu murid saya (wanita bule) pernah curhat pada saya. Dia tidak sempat mengulang pelajaran dari saya karena kerepotan melakukan pekerjaan rumah tangga. Saat dia curhat pada suaminya eh suaminya malah bilang “Apa saja yang kamu lakukan seharian??” Hahahaa… Saya yakin murid saya itu pasti langsung pengen bantingin panci ! 😀
Jika saat ini saya memilih menjadi istri rumahan, mungkin karena saya sudah jenuh! I’m tired, it’s enough! Saya ini mulai bekerja sejak lulus SMA dan saya sudah melakoni berbagai jenis pekerjaan. Saya pernah bekerja jadi penjaga stand sushi, SPG minyak goreng sampai elektronik, sales motoris menjual produk tissue dari hotel ke hotel, marketing asuransi, MLM, berjualan offline dan online, mengajar kursus bahasa Inggris anak-anak, resepsionis, staf administrasi, dan sekretaris. Saya terakhir bekerja di Bali sampai tahun 2012 sebagai Social Media Manager. Bagi yang kenal atau seangkatan dengan saya bisa menghitung total masa kerja saya sejak pertama kali bekerja setelah lulus SMA sampai tahun 2012. Jadi saya harap tidak ada orang yang menganggap saya malas karena memilih jadi istri rumahan.
Jujur saja, menjalani hari-hari sebagai istri yang tidak bekerja adalah dilema untuk saya. Kadang saya merasa seperti orang tidak berguna. Jauh di lubuk hati saya, saya sangat takut jika ada yang mengira saya hanya mau menghabiskan uang suami. Mungkin perasaan itu timbul karena sejak kecil ibu saya sering berkata pada saya – yang intinya adalah; wanita itu harus punya uang sendiri, karena jika uangnya hanya dari laki-laki maka wanita tidak punya power. Nanti akan direndahkan oleh laki-laki dan tidak bisa bebas bergerak.
Bagi wanita menjadi ibu rumah tangga atau bekerja di luar rumah itu adalah pilihan. Mana yang dirasa lebih nyaman dan sesuai dengan keadaan masing-masing. Saya pernah menanyai beberapa teman wanita saya yang sudah menikah tapi masih tetap bekerja. Mereka mengatakan sudah jenuh dan lelah. Mereka (terpaksa) bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga saja. Biasanya wanita yang bekerja demi karier adalah mereka yang sudah memiliki posisi bagus di kantor, seperti level manager ke atas. Selain itu kebanyakan karena terpaksa.
Saat ini saya lebih suka mengambil pekerjaan freelance saja maksimal 2.5 jam perhari sebagai pengajar bahasa Indonesia untuk expatriate. Saya tidak memiliki ijazah yang oke dan tentunya impossible bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus di luar negeri, apalagi di usia saya yang sekarang ini. Seandainya dulu saya sempat memiliki posisi/jabatan yang lumayan di kantor, mungkin saat ini saya memilih tetap bekerja mengejar karir.
Ah sudahlah, saya nikmati saja apa yang ada… Maaf, ini cuma curhat gak penting! 🙂
Selamat nyetrika!
Desi Sachiko
Featured pic taken from museperk.com
* * *
Suka artikel ini? Silakan bagikan: