Selama ini kewajiban sebagai pencari nafkah keluarga memang ada di tangan suami. Kemungkinan “aturan” ini sudah ada sejak zaman purba. Pada masa itu lelaki dianggap lebih mampu untuk berburu hewan karena memiliki tenaga yang lebih besar daripada wanita.
Kalau kita lihat dari sisi agama, suami wajib memberi nafkah pada istri jelas disebutkan dalam agama Islam. Begitu juga dalam agama Kristiani, peran suami adalah sebagai breadwinner/provider untuk keluarganya.
Dengan meningkatnya peradaban di bumi tentu saja kebutuhan hidup bukan cuma soal makanan. Hal ini menuntut kita untuk menghasilkan lebih banyak uang. Perubahan zaman yang makin modern membuat kaum wanita semakin bebas melakukan apa yang mereka mau. Pekerjaan yang dulunya hanya bisa atau hanya boleh dikerjakan oleh lelaki sekarang bisa dilakukan oleh wanita.
Para wanita sekarang ini banyak yang berpendidikan tinggi dan lebih mandiri. Hampir semua wanita bekerja setelah mereka lulus sekolah atau kuliah. Sayang rasanya jika tidak menerapkan atau menggunakan ilmu yang sudah dipelajari bertahun-tahun di sekolah. Lagipula biaya pendidikan juga tidak murah!
Meski demikian, wanita yang bekerja murni karena ingin mengejar karir masih kalah banyak dengan wanita yang (terpaksa) bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Ketika penghasilan suami dirasa tidak mencukupi untuk biaya hidup bersama (terutama ketika sudah memiliki anak), akhirnya para ibu itu dengan berat hati meninggalkan anak pada nanny/baby sitter untuk bekerja di luar rumah.
Jujur saja, saya bosan melihat perdebatan di internet mengenai pro-kontra ibu bekerja. Kubu setuju dengan yang tidak setuju tidak akan bisa akur, apalagi jika sudah dikaitkan dengan yang namanya agama. Intinya kaum agamis menilai ibu-ibu yang meninggalkan anak-anak dalam asuhan orang lain adalah ibu yang tidak baik. Rasanya tidak adil jika hanya menyalahkan wanita. Seharusnya mereka juga menilai, suami macam apa yang tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga istri harus ikut bekerja juga??
Menurut saya silahkan saja jika seorang istri atau ibu ikut bekerja asalkan bukan karena paksaaan. Malah zaman sekarang suami istri bisa bertukar peran, suami di rumah dan istri yang bekerja. Daripada anak diasuh oleh orang lain kan lebih baik diasuh oleh ayahnya sendiri. Saya tidak masalah dengan tukar peran, dengan catatan jika penghasilan istri memang jauh lebih besar dari penghasilan suami. Daripada keduanya bekerja tapi anak diasuh oleh orang lain. Maka pilihlah salah satu yang bekerja, yaitu yang penghasilannya paling besar.
Dalam bertukar peran, suami istri harus benar-benar konsekuen. Si suami mengasuh anak, memasak, mencuci piring, menyetrika, pokoknya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri. Jangan lagi istri yang sudah capek bekerja di luar rumah seharian tapi ketika pulang tetap diberikan pekerjaan rumah. Anda bisa melihat contoh tukar peran ini di film “The Intern”. Sayangnya dalam film tersebut si suami sempat berselingkuh. Tapi Anda bisa melihat sedikit gambaran tentang tukar peran antara suami istri di film tersebut.
Sebenarnya di Indonesia tidak sedikit orang-orang yang melakukan tukar peran. Siapakah mereka? Para TKW. Cerita yang sering saya dengar para istri yang bekerja menjadi TKW di luar negeri meninggalkan anak-anak pada suami mereka yang menganggur. Sayangnya tukar peran macam ini jarang berjalan dengan mulus. Ending ceritanya adalah si suami berselingkuh karena punya banyak waktu luang tapi dompet tidak pernah kosong, karena selalu menerima transferan uang dari si istri. Suami bukannya mengurus anak malah mengurus cewek lain! 😀 Tapi itu hanya segelintir nasib buruk yang tidak terjadi pada tiap orang.
Untuk soal bertukar peran ini saya rasa tidak bisa sepenuhnya diterima di Indonesia. Hal ini pasti terbentur pada pandangan agama dan harga diri seorang lelaki. Kesannya tidak jantan sekali suami hidup dari gaji istri. Lelaki yang tidak bekerja akan dianggap pemalas dan tidak bertanggung jawab. Padahal kan kalau jadi bapak rumah tangga bukan berarti tidak bekerja kan? Sama saja dengan ibu rumah tangga. Kalau di luar negeri (Eropa/Amerika) tukar peran ini bukan hal yang aneh.
Memang anak-anak sebaiknya diasuh oleh ibunya sendiri bukan oleh orang lain. Namun tiap orang dihadapkan pada kenyataan hidup yang berbeda-beda. Keinginan tidak selamanya didukung oleh keadaan. Bagi saya menjadi ibu bekerja, ibu rumah tangga, atau bapak rumah tangga, tidak perlu diperdebatkan! Titik.
Pic taken from mamamia.com.au
Salam,
Desi Sachiko
* * *
Suka artikel ini? Silakan bagikan:
Comment
hi kak desi,
salam kenal aku devi dari jakarta.
kaaak, please tulis artikel terbaru lagi. posting nya jangan lama2 ya kaaak, aku selalu tunggu posting2an kakak yg selanjutnya karna tulisan kakak sangat2 ringan di baca dan mudah di pahami. aku sukaaaaa.
sukses selalu ya kak.
devi