Mudik ke Prancis kali ini saya berkesempatan melihat penampungan para pengungsi. Kebetulan papa mertua saya adalah koordinator soal pengungsi di daerah tempat tinggalnya. Papa mertua saya sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai dokter, jadi dia punya banyak waktu untuk membantu para pengungsi.
Di Prancis utara diperkirakan ada sekitar 5000 pengungsi. Para pengungsi kemudian sengaja disebar ke seluruh wilayah Prancis agar tidak menumpuk di suatu daerah, karena penumpukan pengungsi ini bisa menimbulkan banyak masalah. Palang Merah Prancis, pejabat daerah, dokter, pengajar, dan sukarelawan lainnya bekerja sama berkorban tenaga, pikiran, dan materi untuk menolong para pengungsi ini.
Dua malam lalu saya ikut melihat para pengungsi yang baru datang lagi. Mereka berjumlah 11 orang lelaki dari Afganistan, Irak, dan Pakistan. Sebelumnya pernah ada 2 keluarga dari Iran dan Kurdistan, namun mereka sudah dipindahkan ke wilayah Prancis lainnya.
Para pengungsi ditampung di panti jompo yang sudah tidak dipakai namun kondisi gedung dan semua ruangannya masih bagus. Tiap kamar tidur diisi oleh 2 pengungsi dengan tempat tidur queen bed atau 2 buah kasur single, dilengkapi pula dengan kamar mandi dalam dan pemanas ruangan.
Berbagai bahan makanan disediakan dengan perlengkapan dapur seperti alat-alat masak, kulkas, kompor listrik, pemanas air, mesin pembuat kopi, dan lainnya. Ada meja makan besar, ruang laundry plus mesin cuci, dan ruang bersantai.
Ini jauh dari bayangan saya yang berpikir pengungsi umumnya ditampung di tempat seadanya. Para pengungsi di sini disambut dan diperlakukan dengan sangat baik. Meski saya lihat (maaf) justru para pengungsinya agak “menakutkan”.
Ketika mereka makan, saya perhatikan mereka memilih makanan yang enak-enak saja (seperti keju dan yoghurt) sedangkan omelette (telur dadar) tidak mau mereka habiskan. Yang makin membuat saya jadi “agak gimana gitu” ketika salah satu pengungsi bertanya: “Ada wifi??” Dalam hati saya nyeletuk “bayar hotel aje, bro!!!”
Kemarin saya dengar mereka meminta uang untuk membeli rokok. Padahal ketika mereka datang sudah jelas diterangkan bahwa merokok tidak diperbolehkan. Setelah rembukan antar sukarelawan akhirnya diputuskan tiap pengungsi diberikan uang 3 euro per hari (daripada kabur atau mencuri). Hari ini ada yang dibawa ke dokter gigi karena mengeluh giginya sakit. Oh ya, ada juga pengungsi yang bilang wilayah desa tempat mereka ditampung terlalu kecil, tidak ada apa-apanya. Hmm… Mereka mau traveling atau ngungsi ya??
Saya pikir lebih baik mereka diberdayakan aja, suruh kerja atau bantu-bantu apa kek gitu… Daripada tiap hari cuma makan tidur, dikasih uang pula, nanti jadi malas! Eh ternyata gak semudah itu lho! Aturan di sini kalau orang bekerja harus ada asuransinya, panjang lagi urusannya!
Oh ya, di sana saya juga bertemu dengan seorang bapak pengungsi dari Afganistan yang sudah 10 tahun di Prancis, dan statusnya masih pegang visa refugee jadi tidak bisa bekerja. Dia sudah fasih berbahasa Prancis dan 3 orang anaknya semua kuliah di Prancis dibiayai pemerintah sini.
Mengurusi pengungsi itu bukan hanya ribet soal tempat tinggal dan makanan. Yang ribet itu menangani karakter manusianya. Mungkin dasarnya mereka orang baik-baik semua, namun kerasnya hidup di negaranya atau saat masa pelarian membuat karakter mereka menjadi keras dan selfish. Memang pepatah “Dikasih hati minta jantung” bisa terjadi dalam hal apa pun dan di mana pun. Udah ah, gak mau banyak komen! :p
Salam damai,
Desi Sachiko
UPDATE 23 Mei 2016:
Papa mertuaku baru kirim email, katanya 4 orang dari Irak kabur dengan mencuri persediaan makanan dari penampungan. Waktu dikejar ama papa mertuaku mereka cuma bilang terima kasih tapi gak mau lagi tinggal di penampungan karena menurut mereka kebanyakan aturan
* * *
Suka artikel ini? Silakan bagikan:
Leave A Reply